Untuk tulisan sebelumnya, bisa lihat di sini
Apakah semua hal yang saya sebutkan tadi menjadi sebuah distraksi? Tidak juga, sejauh kita bisa memanfaatkan dengan bijak dan tidak terlena pada hal-hal tersebut. Khusus bagi para pelajar atau mahasiswa. Tentu kita berharap mereka banyak menghabiskan waktu untuk belajar.
Meski belajar tidak semata membaca buku tetapi juga bisa mengerjakan tugas dengan browsing dari google, chat GPT, atau hal lain yang setidaknya memberi manfaat. Jujur saya sendiri banyak mendapat ide menulis atau inovasi produk dari media sosial, atau mesin pencari tersebut. Jadi teknologi tak sepenuhnya memberi efek negatif.
Namun apapun medianya agar lebih bermanfaat, kita perlu untuk meningkatkan kemampuan dasar untuk meng-upgrade wawasan kita. Membaca. Ini adalah satu kemampuan yang harus dimiliki. Meski sekarang ada video yang bisa kita dengar dan tonton, namun untuk mengulik informasi lebih dalam, kita butuh membaca.
Seorang guru tidak bisa mengajar tanpa membaca, dokter tidak akan bisa mengobati tanpa membaca diagnosa secara teliti, seorang manajer perusahaan tidak akan bisa mengambil keputusan yang akurat dan efisien tanpa membaca laporan dari anggotanya, bahkan presiden tidak bisa membuat keputusan asal tanpa membaca dan menerima laporan dari menteri atau dinas terkait.
Membaca, Mengikat Makna
Dengan membaca kita bisa memperluas wawasan, pondasi dasar ilmu, membangun cara berpikir yang kritis. Ibarat sebuah teko yang penuh, kita bisa mengisi lebih dari satu gelas. Namun jika isi tekonya saja sedikit, mengisi satu gelas pun mungkin tidak cukup. Kemerosotan intelegensi yang terjadi ini, bukan ‘omelan’ saya semata, namun terpampang nyata dari banyak video yang beredar. Apa itu? Tampak seorang guru menanyakan operasi perkalian sederhana, dari 5 murid, hanya satu yang benar, dan itu ditanyakan pada pelajar SMA. Gemes sih melihatnya. Akankah cita-cita menuju Indonesia emas akan terwujud? Saya pesimis.
Untuk menciptakan sesuatu, tentu kita perlu cara berpikir yang kritis. Kata Hernowo dalam buku Mengikat Makna, tidak hanya sekedar membaca tetapi bagaimana mencerna. Hernowo pernah mengajar di sebuah institut di Bandung, dan ia diminta mengajar mata kuliah mencerna. Padahal beliau bukan ahli sains, tidak menguasai ilmu kedokteran, atau ilmu kesehatan. Rupanya maksud dari mencerna ini adalah kemampuan untuk memahami apa yang dibaca.
Nah, membaca tidak asal membaca, tapi juga harus bisa memaknai apa yang dibaca. Dan inilah kemampuan yang sebagian (tidak semua ya) tidak dimiliki generasi muda kini. Walaupun mulut kita sudah koyak (istilah emak-emak Medan) menyuruhnya membaca, belum tentu juga ia paham dengan apa yang dibaca. Dan ini fakta, karena saya sudah mengujinya pada murid saya sendiri. Membaca hanya asal baca. Lalu apa solusinya?
Membangun Kebiasaan Membaca
Membaca harus menjadi habit (kebiasaan). Bagi kita yang muslim, ingat tidak bagaimana orang tua kita getol untuk disiplin sholat 5 waktu? Tak lain adalah agar kebiasaan sholat bisa terbawa hingga kelak dewasa. Karena semakin dewasa, makin banyak tanggung jawab yang harus dikerjakan. Tetapi jika sholat telah menjadi kebiasaan, sesempit apa pun waktu, pasti dilakukan. Awalnya kita hanya mengerjakan sebatas kewajiban, baru kemudian kualitas dari sholat terbangun.
Mari kita turunkan analogi ini dalam membaca. Awalnya mungkin sebuah keterpaksaan, karena disuruh. Tapi jika telah menjadi habit (kebiasaan), pasti aneh jika tidak dikerjakan. Otak pun menjadi aktif karena sering kita ‘isi’. Dari Mohammadnoer.com, setidaknya ada 10 - 20% dari apa yang kita baca akan terserap.
Seperti kata pepatah, banyak jalan menuju Roma. Termasuk dalam hal membangun kebiasaan membaca. Ada banyak trik yang bisa dilakukan, agar kebiasaan positif ini tidak terasa berat.
Pertama, sediakan waktu minimal sepuluh menit per hari. Bukan hal yang berat kan? Tentu agar tidak ada gangguan, kerjaan saat pekerjaan sudah selesai semua dan tidak memegang ponsel.
Sedang memasuki era. 15 menit baca auto merem nih kak. 😅
BalasHapusKwkwkw kemajuan ato kemunduran itu?
Hapus