Langsung ke konten utama

Mengikat lalu Mencerna (2)

 Untuk tulisan sebelumnya, bisa lihat di sini 


Apakah semua hal yang saya sebutkan tadi menjadi sebuah distraksi? Tidak juga, sejauh kita bisa memanfaatkan dengan bijak dan tidak terlena pada hal-hal tersebut. Khusus bagi para pelajar atau mahasiswa. Tentu kita berharap mereka banyak menghabiskan waktu untuk belajar. 

Meski belajar tidak semata membaca buku tetapi juga bisa mengerjakan tugas dengan browsing dari google, chat GPT, atau hal lain yang setidaknya memberi manfaat. Jujur saya sendiri banyak mendapat ide menulis atau inovasi produk dari media sosial, atau mesin pencari tersebut. Jadi teknologi tak sepenuhnya memberi efek negatif.

Namun apapun medianya agar lebih bermanfaat, kita perlu untuk meningkatkan kemampuan dasar untuk meng-upgrade wawasan kita. Membaca. Ini adalah satu kemampuan yang harus dimiliki. Meski sekarang ada video yang bisa kita dengar dan tonton, namun untuk mengulik informasi lebih dalam, kita butuh membaca. 

Seorang guru tidak bisa mengajar tanpa membaca, dokter tidak akan bisa mengobati tanpa membaca diagnosa secara teliti, seorang manajer perusahaan tidak akan bisa mengambil keputusan yang akurat dan efisien tanpa membaca laporan dari anggotanya, bahkan presiden tidak bisa membuat keputusan asal tanpa membaca dan menerima laporan dari menteri atau dinas terkait. 

Membaca, Mengikat Makna

Dengan membaca kita bisa memperluas wawasan, pondasi dasar ilmu, membangun cara berpikir yang kritis. Ibarat sebuah teko yang penuh, kita bisa mengisi lebih dari satu gelas. Namun jika isi tekonya saja sedikit, mengisi satu gelas pun mungkin tidak cukup. Kemerosotan intelegensi yang terjadi ini, bukan ‘omelan’ saya semata, namun terpampang nyata dari banyak video yang beredar. Apa itu? Tampak seorang guru menanyakan operasi perkalian sederhana, dari 5 murid, hanya satu yang benar, dan itu ditanyakan pada pelajar SMA. Gemes sih melihatnya. Akankah cita-cita menuju Indonesia emas akan terwujud? Saya pesimis. 

Untuk menciptakan sesuatu, tentu kita perlu cara berpikir yang kritis. Kata Hernowo dalam buku Mengikat Makna, tidak hanya sekedar membaca tetapi bagaimana mencerna. Hernowo pernah mengajar di sebuah institut di Bandung, dan ia diminta mengajar mata kuliah mencerna. Padahal beliau bukan ahli sains, tidak menguasai ilmu kedokteran, atau ilmu kesehatan. Rupanya maksud dari mencerna ini adalah kemampuan untuk memahami apa yang dibaca.

Nah, membaca tidak asal membaca, tapi juga harus bisa memaknai apa yang dibaca. Dan inilah kemampuan yang sebagian (tidak semua ya) tidak dimiliki generasi muda kini. Walaupun mulut kita sudah koyak (istilah emak-emak Medan) menyuruhnya membaca, belum tentu juga ia paham dengan apa yang dibaca. Dan ini fakta, karena saya sudah mengujinya pada murid saya sendiri. Membaca hanya asal baca. Lalu apa solusinya?

Membangun Kebiasaan Membaca

Membaca harus menjadi habit (kebiasaan). Bagi kita yang muslim, ingat tidak bagaimana orang tua kita getol untuk disiplin sholat 5 waktu? Tak lain adalah agar kebiasaan sholat bisa terbawa hingga kelak dewasa. Karena semakin dewasa, makin banyak tanggung jawab yang harus dikerjakan. Tetapi jika sholat telah menjadi kebiasaan, sesempit apa pun waktu, pasti dilakukan. Awalnya kita hanya mengerjakan sebatas kewajiban, baru kemudian kualitas dari sholat terbangun. 

 

Mari kita turunkan analogi ini dalam membaca. Awalnya mungkin sebuah keterpaksaan, karena disuruh. Tapi jika telah menjadi habit (kebiasaan), pasti aneh jika tidak dikerjakan. Otak pun menjadi aktif karena sering kita ‘isi’. Dari Mohammadnoer.com, setidaknya ada 10 - 20% dari apa yang kita baca akan terserap.

Seperti kata pepatah, banyak jalan menuju Roma. Termasuk dalam hal membangun kebiasaan membaca. Ada banyak trik yang bisa dilakukan, agar kebiasaan positif ini tidak terasa berat.

Pertama, sediakan waktu minimal sepuluh menit per hari. Bukan hal yang berat kan? Tentu agar tidak ada gangguan, kerjaan saat pekerjaan sudah selesai semua dan tidak memegang ponsel.



Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngapain Lagi Di Bulan Syawal?

       Usai nya Ramadhan berganti dengan Syawal. Ibadah puasa ramadhan telah selesai begitu juga dengan shalat Tarawih. Saat nya merayakan kemenangan, dengan saling bermaafan dan silaturahim dengan sanak keluarga.       Ada rasa lega yang tak terucap setelah berhasil melewati ‘pesantren’ istilah yang ku sebut, dalam waktu sebulan ini. Meski ada juga rasa sedih karena berpisah dengan bulan penuh berkah dan berharap kelak akan bertemu lagi. Amiin.       Setelah Ramadhan selesai, ada beberapa ibadah yang memang tidak dikerjakan lagi. Namun di bulan Syawal ternyata punya anjuran ibadah khusus. Hukumnya sunnah muakkad, yaitu puasa Syawal. Dan juga dianjurkan tetap melanjutkan ibadah rutin yg sudah kita latih selama Ramadhan, seperti tilawah, qiyamul lail, shalat Dhuha, dll.     Singkatnya, sebelas bulan yang kita lalui sebelum bertemu Ramadhan lagi adalah menuai apa yang kita latih selama Ramdadhan. Ya, tidak ada kata istirahat...

Siaga Mata Kering dengan Insto Dry Eyes

      Menjadi guru dan penulis (ehmmm), Dewi dituntut untuk prima dan stand by di situasi apa pun. Misal saat mengajar, guru sebaiknya memiliki looks atau tampilan yang bagus saat mengajar. Bukan cuma tentang pakaian tapi kesiapan dalam mengajar. Jika mengajar dalam kondisi yang kurang sehat, atau ada saja organ tubuh yg sakit, sangat tidak maksimal tentu dalam mengajar.         Kontak mata saat mengajar itu penting ya. Membuat si anak jadi semakin yakin dan fokus dalam belajar. Artinya kesehatan mata sangat penting bagi seorang guru, (semua profesi sih ya, hehe). Belum lagi mitos jika mata kita merah, maka akan menular. Arghhh.       Begitu juga sebagai penulis, kita dituntut untuk banyak membaca, sehingga tidak terhindarkan screentime dengan gadget atau laptop dalam waktu yang tidak bisa dipastikan. Sudah pasti mata lelah dan tidak nyaman rasanya.       Ternyata mata lelah, mata merah, terasa sepet dan ker...

Beberapa Poin Penting dalam Berinfaq

          Di bulan Ramadhan, banyak orang yg berlomba-lomba dalam beramal ibadah. Mulai dari Qiyamullail, tadarus, infak, sedekah, zakat, dll. Kali ini Dewi ingin membahas salah satunya, yaitu infaq.        Seperti janji Dewi, tulisan ini bersumber dari kitab Syarah Riyadush Shalihin, karya Imam An-Nawawi jilid 1. Dewi tertarik membaca sebuah hadist yang membahas tentang infaq.        “Tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah. Dan mulailah berinfak dari orang yang menjadi tanggunganmu. Sebaik-baik sedekah adalah yang diberikan oleh orang yang memiliki kelebihan. Barang siapa menahan diri dari meminta-minta, maka Allah akan mencukupkan kebutuhannya. Dan barangsiapa merasa kaya, maka Allah akan membuatnya kaya.” (HR. Bukhari)       Banyak sekali point menarik yang bisa kita ambil dari hadist tersebut, yaitu: 1. Tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah.      Tangan di atas adalah oran...